Kamis, 23 Juni 2011

Tahap pembentukan dengan bahan fiberglass sebagai berikut.

1. Tahap pembentukan pencipta awali dengan membuat bentuk yang akan diwujudkan dengan bahan gabus (styrofoam), selanjutnya dilapisi dengan kertas. Dilanjutkan dengan melakukan pelapisan dengan bahan fiberglass pelapisan dilakukan dua kali karena pencipta mencampur bahan fiberglass (resin) dengan bahan lain. Pelapisan pertama hanya menggunakan resin dan met sebagai lapisan dasar, setelah itu menggunakan campuran resin dengan serbuk teraso merah
2. Tahap penghalusan pencipta lakukan dengan mengunakan amplas, baik yang digosokan dengan memakai tangan maupun bantuan mesin gerinda.
3. Tahap akhir pencipta finising dengan cat air yaitu perep untuk menyesuaikan dengan karakter tokoh tersebut setelah itu digosok dengan sikat logam barulah dilapisi dengan pelamir lantai merek clier coat sebagai pelindung cat agar tahan terhadap sinar matahari ataupun air. 
sumber: http://bikinpatungfiber.blogspot.com/2010/01/cara-membuat-patung-fiber.html

Dusun Pahat Batu Tamanagung (II)

Terpaksa Banting Stir
SUATU saat, tak mustahil, urusan bahan baku kerajinan pahat batu bakal sulit. Bahan itu terutama diambil dari lereng Gunung Merapi. Tiap bulan, sanggar Djayaprana memerlukan 1-2 truk batu.
Lama pembuatan tergantung besar-kecilnya batu. Batu ukuran 1-2 meter dipahat sekitar sebulan. Bahkan ada yang hingga empat bulan, ”Tergantung kerumitannya,” kata Djayaprana, lelaki kelahiran 1969 itu. Sebuah patung tersebut dikerjakan sekitar empat orang. Mereka kerja borongan. Bila pesanan ramai jumlah pemahat 20 – 30 orang.
”Setiap bulan saya pasti beli bahan baku,” ujar Bu Zaenal, yang mengelola sanggarnya bersama suami. Produksinya bervariasi dari cobek, ulekan, meja kursi batu, lampion, air mancur, hingga patung berbagai ukuran baik klasik maupun kreasi baru.
Bahan baku batu andesit diperoleh dari lereng Merapi, sedangkan batu paras (putih) dari Gunung Kidul. Kebutuhan bahan baku sebulan rata-rata 10-25 untuk bahan relief berukuran 50x50x15cm. Bahan baku relief berukuran 50x50 cm seharga Rp 50-100 ribu. Adapun bahan baku patung setinggi 80 cm seharga Rp 150 ribu, sedangkan setinggi 1 m seharga Rp 400 ribu. “Bahan baku saat ini sering berebut saking banyaknya perajin batu,” keluh Priyono, warga Prumpung yang lain.
Keluhan senada disampaikan Arif, 60 tahun, pemilik Sanggar Alit. Bagi pengusaha kerajinan pahat batu skala kecil persaingan terasa makin berat. “Usaha kecil semakin berat karena persaingan dengan pengusaha yang besar. Rombongan wisatawan biasanya langsung masuk ke sanggar yang besar,” ungkapnya.
Menurut ayah dua anak ini, pemasaran makin terasa sulit sekali karena guide membawa calon pembeli ke sanggar yang besar-besar. “Sudah empat bulan ini sepi pembeli,” katanya. Padahal, sebelum krisis ekonomi 1998, hampir setiap minggu ada pembeli. Kini benar-benar lesu. “Mungkin juga karena daya beli masyarakat yang menurun,” imbuhnya.
Arif menekuni usaha ini sejak 20 tahun lalu. Namun, mahalnya bahan baku dan angkos angkut membuat dia banting stir. “Sekarang cuma kulakan, membeli dari para tetangga yang memahat patung,” ujarnya. -cahpesisiran, telah diedit utk majalah saudagar-
Baca juga: Dusun Pahat Batu Tamanagung (I)

sumber
http://pesisiran-kidul.blogspot.com/2008/09/desa-pahat-batu-tamanagung-ii.html

Dari Memugar Borobudur Sampai Cobek dan Lampion

Awalnya ragu-ragu, takut dilarang. Juga takut dosa. Tercatat ada 800 pemahat dan pengusaha pahat batu. Selera turis lokal dan turis asing berbeda. Bisa kesulitan bahan baku batu.

BERADA di antara Gunung Merapi dan Candi Borobudur memberi keuntungan tersendiri bagi warga Dusun Prumpung dan Dusun Tejowarno, Desa Tamanagung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Dari semula hanya sebagai tempat transit bahan baku pemugaran Borobudur, kini jadi sentra kerajinan pahat berbahan dasar batu.

Pusat kerajinan batu di dua dusun itu, konon dirintis Salim Joyopawiro. Dia yang sempat dipekerjakan Theodoor Van Erp untuk memugar Borobudur sekitar tahun 1930 itu, punya ide mengolah kerajinan batu sendiri. Kisah itu diungkapkan Doelkamid Djayaprana, putra Salim yang sesepuh perintis kerajinan pahat batu di desa tersebut tahun 1953. Jarak Borobudur--Prumpung--lereng Gunung Merapi, masing-masing sejauh 13 km.
Djayaprana bersama saudaranya, Ali Rahmad dan Kasrin, memulai memahat batu berbentuk kepala Budha mencontoh dari patung di Borobudur. Pada awalnya rada takut-takut. “Waktu itu masih ragu-ragu apakah boleh atau tidak, dosa atau tidak. Akhirnya, kami nekat mencoba dan ada juga yang beli, pedagang dari Sumatera,” kenang Djayaprana.
Waktu itu, arca kepala Budha dihargai Rp 150. Berawal dari situ, peraih penghargaan upra pradana dan upakarti ini mendirikan sanggar pahat batu Sanjaya tahun 1960. Usahanya kian berkibar tatkala dapat support Jenderal Gatot Subroto dalam kreasi berbagai bentuk pesanan berupa gapura batu. Sukses.
Warga pun ramai-ramai ngangsu kaweruh pada Djayaprana bersaudara. Tidak hanya di Prumpung, kerajinan pahat batu pun berkembang ke dusun-dusun lain di Tamanagung, dan bahkan ke desa sekitar. “Sekarang sekitar 5 km lingkar jalan di Muntilan-Borobudur-Magelang terdapat kerajinan pahat batu. Ada sekitar 800 pemahat dan pengusaha dari yang muda hingga tua,” papar Djayaprana yang masih menjalankan usaha bersama puteranya.
Dalam perkembangannya, segala model pun diwujudkan. Misalnya, miniatur candi, patung antik Wisnu dan Siwa, dan peralatan dapur dari cobek, ulekan, meja kursi batu, lampion, air mancur, gapura klasik, relief, hingga patung Budha, Hindu, gupala, dan ganesha. Jenis yang paling banyak diminati pembeli, menurut Djayaprana, adalah motif-motif kuno seperti duplikat candi, serta motif Hindu dan Budha.
“Tapi akhir-akhir ini banyak yang beralih ke desain-desain baru, seperti pot-pot untuk air mancur, bunga, dan bentuk binatang,” kata lelaki yang menyimpan dokumentasi lebih dari 10 ribu foto proses perkembangan pahat batu dari tahun 1961 hingga sekarang. Pesanan mengalir dari Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan sekitarnya. Bahkan dari Australia, Amerika, dan Malaysia.
Belakangan, Desa Tamanagung dikonsep sebagai desa wisata. Di wilayah seluas 306,8 hektare ini akan dikembangkan sentra display berbagai produk kerajinan pahat batu. Juga fasilitas pendukung seperti taman, area parkir, dan angkutan shuttle untuk mengantarkan wisatawan berkeliling melihat kegiatan memahat.
Meski belum pernah diajukan secara resmi kepada pemda setempat, rencana itu telah dibicarakan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. “Dengan menjadi desa wisata, jelas meningkatkan perekonomian warga,” kata Sekretaris Desa Tamanagung, Sutikno.
Saat ini, dengan jumlah penduduk 9.160 jiwa, mata pencaharian utama adalah pahat batu, petani, dan pedagang. Para pelaku kerajinan pahat batu terwadahi dalam klaster, yang berperan dalam mengkoordinasikan para anggota terkait bahan baku dan supplier, proses produksi dan permintaan pasar, serta keterlibatan sektor pendukung seperti perbankan, riset dan asosiasi bisnis. Setidaknya ada 35 perajin yang tergabung di dalamnya.
Misalnya, Bu Zaenal, pemilik Sanggar Zenvin yang tiap bulan minimal membuat dua patung. Namun, jika ada pesanan dari Australia dan Amerika terkadang hingga mencapai satu kontainer. Para wisatawan itu menyukai model patung-patung klasik seperti Budha, Dewi Sri, dan Dewi Tara. Sedangkan wisatawan domestik lebih berselera pada patung klasik ataupun kreasi baru berupa lampion.
Nyonya Zaenal tidak melakukan pemasaran secara khusus. Ia hanya men-display pahatan batu di sanggarnya di tepi jalan utama Yogyakarta – Magelang. “Kondisi saat ini agak sepi. Ramainya musiman dan tergantung pesanan,” ungkap wanita kelahiran 35 tahun lalu tersebut. Jika sedang banjir pesanan, sebulan omset bisa sampai Rp 100 juta. Bu Zaenal dibantu 10 orang pemahat yang bekerja borongan. Harga bervariasi mulai Rp 15 ribu untuk cobek, patung berukuran 50 cm seharga Rp 400 ribu, dan patung berukuran tiga meter senilai Rp 35 juta.
Masing-masing sanggar menentukan sendiri harganya. Tergantung kualitas patung. “Hasil pengerjaannya kan berbeda-beda, ada yang halus, ada yang kurang,” ungkap Priyono, 44 tahun, pemilik Sanggar Indraprasta. Saat ini persaingan makin ketat. “Karena hampir 70% warga Muntilan menjadi perajin atau pengusaha pahat batu. Banyak bermunculan sejak tahun 1990 hingga 2000-an,” ungkap ayah empat anak yang berusaha sejak 1985 itu.
Priyono cukup memajang produknya di pinggir jalan, dan hanya beberapa kali ikut pameran. Ia biasa menerima pesanan dari Jakarta, Semarang, Jepara, Yogyakarta, dan kadang ada turis asing yang membeli patung secara langsung. “Sejak 3 tahun ini, sering mendapat pesanan relief model Borobudur,” kata Priyono, di sela kegiatannya memahat patung.
Harga penawaran bervariasi. Lampion, misalnya, Rp 100 – 500 ribu tergantung model dan ukuran. Relief Borobudur per meter persegi Rp 1 – 1,5 juta. Patung gupala berukuran 80 cm seharga Rp 1,5 juta, dan yang berukuran 1 meter senilai sekitar Rp 4 juta.
Selagi memahat, “Turis juga melihat proses memahat patung di sini. Ada pula turis asing yang mengambil foto-foto proses memahat,” kata Priyono.
Karya, 36 tahun, misalnya, seorang karyawan swasta di Jakarta yang sedang seminar di Yogya, menyempatkan mampir ke Tamanagung. “Kerajinan pahat batu di sini bagus, menarik,” ungkapnya. Ia bersama dua temannya datang untuk mengambil pesanannya model patung Hindu seharga Rp 600 ribu sebulan lalu. Kendala yang dihadapi adalah transportasi. ”Mengangkutnya agak repot,” ia menambahkan. -cahpesisiran, telah diedit utk majalah saudagar-
nb: data sejarah, Van Erp memimpin pemugaran 1907 - 1911

Baca juga: Dusun Pahat Batu Tamanagung (II)


 sumber:

http://pesisiran-kidul.blogspot.com/2008/09/desa-pahat-batu-tamanagung.html

Senin, 02 Mei 2011

Patung Fiber

Patung Fiberglass Muntilan

Patung Fiber adalah salah satu produk kami yang memiliki beberapa kelebihan yaitu barangnya ringan dan hasilnya lebih halus.
Untuk membuat sebuah patung yang bagus maka harus melalui beberapa tahap penting yaitu:
1. Pembuatan Model dari clay
 Kami biasanya menggunakan clay berupa tanah liat untuk membuat model. berikut ini contoh model clay yang pernah kami garap:












2. Membuat cetakan


3. mencetak

4. Finishing
Setelah patung dicetak, maka langkah selanjutnya adalah membersihkan sisa resin dengan cara diamplas.
setelah itu baru dicat.